TUWoGSzlTUO6BSYpGSr8BUW7BA==

Form

Comment

5 Cara Pulih Setelah Dunia Mengajarkan Kehilangan

Diposting oleh:Yusron Al Fajri

Tidak Ada Sekolah yang Mengajarkan Kita Cara Kehilangan, Dari kecil kita diajari cara membaca, menghitung, bahkan menghafal nama-nama planet. Tapi tidak pernah ada pelajaran yang mengajarkan kita cara menghadapi kehilangan.

Padahal, dunia ternyata suka mencuri:
mencuri orang-orang yang kita sayangi,
mencuri harapan yang kita bangun,
mencuri rencana yang sudah kita pegang erat.

Kehilangan bisa datang dalam berbagai bentuk—kematian, perpisahan, gagal masuk jurusan impian, kehilangan pekerjaan, atau kehilangan versi diri yang dulu kita kenal.

Dan ketika itu terjadi, tidak ada kata-kata bijak yang cukup untuk menghibur, tidak ada "quotes" yang bisa langsung menyembuhkan. Yang ada hanyalah dada sesak, malam panjang, dan pagi-pagi yang terasa hampa.

Pulih Tidak Harus Kuat

Banyak orang berpikir bahwa pulih itu artinya harus bangkit, produktif lagi, tersenyum lagi, seperti tidak terjadi apa-apa.
Padahal, pulih bukan tentang kekuatan, tapi tentang kejujuran terhadap luka yang sedang terbuka.

Pulih bisa berarti:

  • tetap menangis, tapi bisa bangun dari tempat tidur,

  • masih merasa kosong, tapi mulai mau makan lagi,

  • belum bisa melupakan, tapi sudah bisa duduk tenang tanpa marah.

Itu semua adalah bentuk pulih.
Bukan versi yang gagah, tapi versi yang nyata.

Dunia Takkan Meminta Maaf, Tapi Kamu Boleh Beristirahat

Kita sering menuntut penjelasan dari hidup:
"Kenapa aku?"
"Kenapa secepat ini?"
"Kenapa harus dia?"

Sayangnya, dunia tidak pernah menjelaskan dengan utuh. Dunia hanya terus bergerak. Kadang terlalu cepat untuk yang sedang terluka.

Tapi kamu tidak harus ikut berlari.
Kalau kamu perlu berhenti sejenak, duduk, diam, menangis—itu bukan kelemahan. Itu bagian dari keberanian.
Berhenti bukan mundur. Beristirahat bukan menyerah.

Luka Tidak Selalu Harus Dibereskan

Salah satu kesalahan kita adalah berpikir bahwa semua luka harus sembuh total. Harus tuntas. Harus selesai.

Padahal, ada luka yang memang tidak ditakdirkan untuk hilang, tapi ditakdirkan untuk kita bawa dengan cara yang baru.
Luka karena kehilangan tidak harus disembuhkan seperti penyakit. Tapi bisa kita peluk seperti kenangan.

Lambat laun, rasa sakitnya mungkin tidak hilang sepenuhnya, tapi cara kita memaknainya bisa berubah.

Pelan-Pelan Mengisi yang Kosong

Setelah kehilangan, hidup terasa kosong. Seperti ada ruang besar yang dulu penuh, kini hening. Tapi bukan berarti kosong itu tidak bisa ditempati lagi.

Pelan-pelan, kamu bisa mengisinya:

  • dengan kebiasaan baru,

  • dengan tawa yang tak harus dipaksakan,

  • dengan kehadiran orang lain,

  • atau bahkan dengan doa-doa yang sunyi.

Bukan untuk menggantikan, tapi untuk mengiringi perjalanan pulihmu.

Mengizinkan Diri Sendiri untuk Bahagia Lagi

Kadang, yang menghambat proses pulih bukan lagi rasa sedih, tapi rasa bersalah saat mulai bahagia lagi.
Seolah-olah, kita tidak pantas tertawa kalau orang yang kita cintai sudah tiada.
Atau tidak layak bermimpi lagi setelah mimpi sebelumnya kandas.

Tapi justru dengan mengizinkan dirimu untuk merasa damai, kamu sedang memberi penghormatan pada apa yang pernah ada.
Bukan melupakan. Tapi melanjutkan.

Pulih Adalah Sebuah Izin

Pulih bukan perkara waktu, tapi perkara izin.
Mengizinkan dirimu untuk sedih.
Mengizinkan dirimu untuk pelan-pelan kembali berdiri.
Mengizinkan dirimu untuk tetap menyayangi yang telah pergi, tanpa harus berhenti mencintai hidupmu sendiri.

Kehilangan mungkin tidak bisa diajarkan, tapi kita bisa belajar mengolahnya.
Dengan diam, dengan tangis, dengan waktu, dan dengan kasih terhadap diri sendiri.

Karena kehilangan adalah bagian dari menjadi manusia.
Dan pulih adalah bentuk paling lembut dari keberanian.

0Komentar