TUWoGSzlTUO6BSYpGSr8BUW7BA==

Form

Comment

Saat Sekolah Tak Lagi Mengajarkan Cara Menjadi Manusia

Diposting oleh:Yusron Al Fajri
Saat Sekolah Tak Lagi Mengajarkan Cara Menjadi Manusia

Di tengah sorotan terhadap sistem pendidikan hari ini, satu pertanyaan sederhana namun dalam mencuat: Apakah sekolah masih mengajarkan kita bagaimana menjadi manusia? Pendidikan formal begitu sibuk mengejar angka, nilai, dan gelar. Tapi dalam kompetisi akademik itu, pelajaran tentang memahami perasaan, mengelola emosi, atau berempati pada sesama perlahan menghilang.
Sekolah seolah menjelma menjadi tempat mencetak robot berpikir, bukan manusia yang utuh. Anak-anak diajarkan cara menjawab soal, tapi tidak diajarkan bagaimana menghadapi patah hati. Mereka bisa hafal teori ekonomi, tapi bingung saat harus menenangkan kecemasan dalam diri.

Fakta Ilmiah: Emosi Itu Penting, Tapi Terabaikan

Penelitian Emotion Review (Gross, 2015) menyebut bahwa kemampuan memahami dan mengelola emosi — termasuk emosi orang lain — adalah fondasi penting dalam kecerdasan emosional. Kecerdasan ini terbukti memengaruhi kualitas hidup, relasi sosial, bahkan kesuksesan karier seseorang.
Sayangnya, data dari Pusat Penelitian Kebijakan Kemendikbudristek (2021) menunjukkan bahwa mayoritas guru tidak pernah mendapat pelatihan pendidikan sosial-emosional. Mereka fokus pada aspek kognitif, padahal masalah emosional siswa makin kompleks — dari tekanan akademik, perundungan, hingga dampak media sosial.

Ketika Anak Tak Diajak Bicara Tentang Perasaan

Di ruang kelas, seorang siswa menangis karena takut ujian — lalu dimarahi karena "lemah". Siswa lain merasa cemas karena dibandingkan terus, tapi tak ada yang mengajaknya bicara. Dalam lingkungan seperti ini, anak-anak tumbuh dengan tubuh sehat dan nilai bagus, tapi batinnya kosong.
Daniel Goleman, dalam bukunya Emotional Intelligence, menegaskan bahwa "self-awareness, empathy, and impulse control are the roots of all strong relationships and leadership." Tanpa pendidikan emosi, anak-anak tumbuh jadi pribadi yang cerdas tapi mudah tersulut, atau sukses tapi kesepian.

Beban Akademik yang Meninggalkan Luka Psikologis


Laporan UNICEF Indonesia (2022) menyatakan bahwa 1 dari 3 remaja mengalami gangguan mental ringan hingga sedang. Mayoritas dari mereka merasa stres akibat tekanan nilai, ekspektasi orang tua, dan lingkungan belajar yang kompetitif tanpa ruang refleksi.
Kita telah mengubah pendidikan menjadi ajang kompetisi, tanpa mengajarkan cara kalah dengan tenang, atau bangkit saat jatuh. Padahal, hidup jauh lebih rumit dari sekadar soal ujian — ia penuh luka, penolakan, kegagalan, dan keputusan yang menyakitkan.

Saatnya Menghadirkan Pendidikan yang Manusiawi

Solusinya bukan menghapus akademik, tapi menyeimbangkannya. Pendidikan sosial-emosional harus menjadi bagian dari kurikulum. Guru perlu dilatih untuk memahami dinamika emosi siswa. Kegiatan refleksi, diskusi perasaan, atau jurnal emosi harian bisa jadi awal yang sederhana.
Beberapa sekolah alternatif di Indonesia sudah menerapkan metode ini — siswa diajak memahami rasa marah, kecewa, bahkan syukur, dengan kata-kata. Pelajaran bukan lagi soal menghafal, tapi tentang menghayati.

Menjadi Manusia, Bukan Sekadar Cerdas

Pendidikan seharusnya membentuk manusia yang utuh — yang mampu berpikir jernih, merasa dengan sadar, dan bertindak bijak. Jika sekolah hanya mencetak siswa yang pandai berhitung tapi tak paham dirinya sendiri, kita sedang gagal mendidik.
Karena pada akhirnya, yang dibutuhkan dunia bukan hanya orang cerdas. Tapi manusia — yang paham bagaimana menjadi manusia.

0Komentar